Peraturan Pemerintah Tentang Label Pangan
BAB I. PENDAHULUAN
1. 1.
Latar Belakang
Label
merupakan sarana dalam kegiatan perdagangan pangan yang memiliki arti penting
bagi konsumen. Informasi yang terdapat dalam label meliputi barang yang
diperdagangkan akan menjadi salah satu pertimbangan dalam memutuskan untuk
membeli atau mengonsumsi pangan tersebut. Tanpa adanya informasi yang benar,
jelas, dan lengkap, akan timbul kesempatan bagi produsen untuk melakukan
kecurangan (Shofie, 2000)
Hak
atas informasi tersebut merupakan salah satu hak yang tercantum dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada pasal
yang keempat. Penyampaian informasi yang benar mengenai suatu produk/ barang
yang diperdagangkan merupakan hal penting agar konsumen tidak salah gambaran
mengenai produk tersebut (Toar, 1998) .
Selain itu, pada undang undang tersebut dalam pasalnya yang ketujuh terdapat
pula kewajiban pelaku usaha untuk memberi informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
Berdasarkan
Undang-Undang nomor 7 tahun 1996, pangan sebagai komoditas dagang memerlukan
dukungan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia
pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selain itu, dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat, pangan yang tersedia harus aman, bermutu,
bergizi dan beragam. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan, pembinaan dan
pengawasan pangan oleh pemerintah pada label dan kemasan pangan sehingga pangan
yang diperdagangkan tidak merugikan ataupun membahayakan masyarakat sebagai
konsumen.
Maka,
dibentuklah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 69 tahun 1999 tentang
label dan iklan untuk menjalankan undang-undang tersebut. Namun pada
kenyataannya, masih terdapat masalah mengenai produk pangan yang beredar di
masyarakat yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersebut, sehingga meresahkan masyarakat. Pada 1
Agustus 2013, BPOM menemukan 706 jenis produk pangan tanpa izin edar (130.374
kemasan) dan 429 jenis produk pangan yang tidak memenuhi ketentuan label
(11.068 kemasan) (Amri, 2013) . Perdagangan pangan
yang tidak jujur ini dapat merugikan masyarakat bahkan mengancam kesehatan dan
jiwa masyarakat.
Peraturan pemerintah dibentuk tidak hanya semata-mata
melindungi konsumen. Namun, secara tidak langsung juga memberi jaminan dan
kepastian hukum kepada produsen. Dalam kaitannya antara peraturan
pemerintah tersebut dengan kasus
mengenai label dan kemasan pangan yang terdapat di Indonesia. Maka, makalah ini
memfokuskan pembahasannya kepada peraturan pemerintah yang mengatur label dan
kemasan pangan di Indonesia, analisis beberapa kasus yang melanggar peraturan
yang ada serta upaya penyelesaiannya sehingga diharapkan tidak ada lagi pelanggaran
yang dapat merugikan dan meresahkan masyarakat.
1. 2.
Tujuan
1. Mendeskripsikan
peraturan mengenai label dan kemasan pangan yang berlaku di Indonesia.
2. Menganalisis
kasus mengenai label dan kemasan pangan yang terjadi di Indonesia.
1. 3.
Rumusan Masalah
1. Hal
apa yang dibahas dalam peraturan pemerintah tentang label pangan?
2. Bagaimana
contoh kasus mengenai label pangan di Indonesia?
3. Hal
apa yang dibahas dalam peraturan pemerintah tentang kemasan pangan?
4. Bagaimana
contoh kasus mengenai kemasan pangan di Indonesia?
BAB II. TINJUAN PUSTAKA
Secara
umum, peraturan mengenai label dan kemasan diatur dalam Undang-Undang nomor 7
tahun 1996. Kemasan pangan diatur pada bagian keempat di bab kedua, sedangkan
label pangan diatur pada bab keempat dari undang-undang tersebut. Namun
berdasarkan, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam bab
ketiga pasal lima ayat kedua, presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Maka, terdapat label pangan
diatur pula oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 69 tahun 1999
tentang Label dan Iklan Pangan, sedangkan kemasan pangan diatur oleh Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan
Gizi Pangan. Namun, berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, bahan kemasan
pangan akan diatur lebih spesifik dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
Dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.07.11.6664 Tahun 2011.
2. 1.
Label
Pada Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia nomor 69 tahun 1999 terdapat beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan mengenai label produk pangan. Pada pasal satu, disebutkan bahwa
label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar,
tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan,
dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan.
Pada pasal dua, disebutkan bahwa setiap orang yang memproduksi atau
menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan
wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label
tersebut diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya,
tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang
mudah untuk dilihat dan dibaca. Kemudian, informasi dasar yang perlu dicantumkan pada
label mengenai produk pangan yang bersangkutan adalah:
-
nama produk;
-
daftar bahan yang digunakan;
-
berat bersih atau isi bersih;
-
nama dan alamat pihak yang memproduksi
atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia;
-
tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
2. 1.
Kemasan Pangan
Pengawasan kemasan pangan
di Indonesia diatur oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik
Indonesia. Pengawasan kemasan pangan diatur dalam peraturan nomor
HK.03.1.23.07.11.6664 pada tahun 2011. Peraturan ini merupakan peraturan yang
dibuat untuk menyempurnakan peraturan sebelumnya yang dikeluarkan oleh BPOM
nomor HK.00.05.55.6497 tahun 2007 mengenai bahan kemasan pangan. Hal ini
dikarenakan peraturan tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Peraturan ini dibuat untuk melindungi masyarakat
dari penggunaan kemasan pagan yang tidak memenuhi persyaratan kemasan pangan.
Dalam peraturan
pengawasan kemasan pangan, disebutkan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang
digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan baik yang bersentuhan
langsung dengan pangan maupun tidak. Kemasan pangan bahan alami adalah kemasan
pangan yang diperoleh dari tumbuhan atau hewani tanpa mengalami proses dan
tidak mengalami perbuahan sifat dan karakteristik dasarnya. Plastik adalah
senyawa makromolekul organik yang diperoleh dengan cara polimerisasi,
polikondensasi, poliadisi atau proses serupa lainnya dari monomer atau oligomer
atau dengan perubahan kimiawi makromolekul alami atau fermentasi mikroba.
BAB III. PEMBAHASAN
3. 1.
Peraturan Label Pangan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 69 tahun 1999 terdiri dari delapan bab. Pada bab pertama terdapat 1 pasal
yang membahas tentang ketentuan umum berkaitan dengan makna dari beberapa
istilah yang akan dibahas dalam peraturan pemerintah ini. Pada bab dua terdapat
42 pasal yang dibagi menjadi 15 bagian. Bab kedua ini membahas tentang label
pangan. Pada bagian pertama terdapat 10 pasal yang mewajibkan setiap produk
pangan di wilayah Indonesia memiliki label dengan keadaan baik dan mudah dibaca,
mengatur tata cara pelabelan serta informasi yang perlu dicantumkan, larangan
dalam pelabelan, dan tata cara pencantuman informasi halal. Bagian kedua
terdiri dari lima pasal yang mengatur tata cara pelabelan untuk bagian utama
label. Bagian ketiga hingga ketiga belas berisi tata cara pencantuman beberapa
hal dalam label yaitu tulisan pada label, nama produk pangan, bahan yang
digunakan, berat bersih, nama dan alamat, tanggal kadaluwarsa, nomor
pendaftaran pangan, kode produksi, kandungan gizi, keterangan iradiasi pangan
serta rekayasa genetika, dan keterangan pangan sintetis. Pada bagian keempat
belas merupakan cara pelabelan untuk pangan olahan. Pada bagian kelima belas
merupakan cara pencantuman keterangan mengenai bahan tambahan pangan.
Pada bab ketiga, peraturan pemerintah ini
mengatur mengenai iklan pangan yang dibagi menjadi lima bagian. Pada bab
keempat terdapat peraturan tentang pihak berwenang yang mengawasi pelaksanaan
peraturan ini. Pada bab kelima terdapat sanksi bagi setiap orang yang
melanggar. Bab keenam mengatur tentang peraturan yang bertentangan dengan
peraturan ini. Pada bab ketujuh terdapat peraturan mengenai objek dari
peraturan ini. Terakhir ditutup oleh bab delapan yang menyatakan peraturan ini berlaku
satu tahun setelah peraturan diundangkan dan ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Peraturan tersebut diterapkan untuk kepentingan konsumen. Namun, masih
terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak produsen terkait label pangan. Berdasarkan
berita yang dilansir dari antaranews.com (Lampiran A), pada tahun 2006 produk
minuman isotonik Mizone yang diproduksi oleh PT Tirta Investama mengalami
permasalahan dalam hal label. Permasalahan tersebut berawal dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
yaitu Komite Masyarakat Anti Bahan Pengawet (Kombet). Kombet melakukan
penelitian mengenai penggunaan bahan pengawet dalam minuman kemasan. Penelitian
dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2006 terhadap 15 buah minuman
kemasan. Minuman tersebut diuji pada tiga laboratorium, yaitu Sucofindo
Jakarta, M-Brio Bogor, dan Bio-Formaka Bogor. Berdasarkan hasil penelitian,
Kombet menggolongkan sampel dalam empat kategori. Kategori pertama adalah
produk yang tidak mengandung natrium benzoat dan kalium sorbat. Kategori kedua
adalah produk yang mengandung pengawet natrium benzoat dan mencantumkannya pada
label kemasan. Kategori ketiga adalah produk yang mengandung dua pengawet,
yaitu natrium benzoat dan kalium sorbat. Produk yang termasuk dalam kategori
ketiga adalah Mizone, Boy-Zone, dan Zegar Isotonik. Kategori keempat adalah
produk yang mengandung pengawet dan tidak mencantumkannya pada label kemasan.
Produk yang termasuk dalam kategori keempat adalah Kopi Kap, Jolly Cool Drink,
Zporto, Jungle Juice, Zestea, dan Mogu-mogu (Media Konsumen, 2006) . Kombet menemukan
beberapa produk minuman kemasan melakukan pembohongan publik dengan tidak
mencantumkan sebagian atau seluruh jenis bahan pengawet pada label kemasan.
Laporan Kombet tersebut ditindaklanjuti oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) (Intelijen, 2013) .
Pelanggaran yang
dilakukan oleh PT Tirta Investama adalah tidak mencantumkan seluruh bahan yang
digunakan dalam membuat Mizone. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan pasal 22 ayat (1), untuk
pangan yang mengandung bahan tambahan pangan, pada label wajib dicantumkan
golongan bahan tambahan pangan. Salah satu bahan tambahan pangan adalah bahan
pengawet. Produk Mizone tidak mencantumkan seluruh bahan pengawet yang
digunakan sehingga melanggar PP RI No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan pasal 22 ayat (1). Selain itu, produk Mizone telah melakukan kebohongan
publik karena label kemasan berfungsi untuk memberikan informasi bagi konsumen.
Pelanggaran tersebut menyebabkan PT Tirta Investama memperoleh sanksi dari
BPOM. Sanksi tersebut berupa penarikan produk dari pasaran. BPOM memberikan
waktu kepada PT Tirta Investama selama dua minggu sejak tanggal 28 November
2006 untuk menarik dan mengganti produk dengan label yang telah disetujui BPOM.
Pada label yang baru dicantumkan dua bahan pengawet yang digunakan di minuman
Mizone. Kasus tersebut memberikan kerugian secara finansial bagi pihak PT Tirta
Investama karena perlu mengeluarkan biaya lebih untuk menarik produk dari
pasaran. Selain itu, penjualan Mizone menurun drastis akibat pernyataan Kombet
mengenai bahan pengawet. Hasil riset Kombet menyatakan 70% minuman isotonik
mengandung bahan pengawet, antara lain kalium sorbat dan natrium benzoat.
Menurut Kombet, konsumsi bahan pengawet tersebut secara terus-menerus dapat
membahayakan kesehatan konsumen. Namun, pernyataan tersebut dianggap menyesatkan
dan meresahkan oleh Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim), Willy
Sidharta. Pernyataan tersebut merugikan pihak produsen dan berdampak secara
langsung terhadap kinerja industri (Suara Merdeka, 2006) .
Pemerintah, khususnya
BPOM, perlu mempertegas peraturan mengenai label pangan dan melakukan
pengawasan terhadap produk yang telah beredar di pasaran. Hal tersebut perlu
dilakukan karena konsumen memiliki hak untuk memperoleh informasi yang benar
mengenai produk yang dikonsumsi.
3. 2.
Peraturan Kemasan Pangan
Peraturan pengawasan kemasan pangan nomor
HK.03.1.23.07.11.6664 pada tahun 2011 mencakup tujuh bab. Bab pertama membahas
mengenai ketentuan umum yang berisi satu pasal mengenai pengertian
istilah-istilah yang mencakup pangan dan kemasan pangan. Bab kedua terdiri atas
tiga pasal yang berisi mengenai ruang lingkup peraturan ini, yang meliputi
peraturan mengenai bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan olahan,
bahan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan olahan dan bahan yang
harus dilakukan penilaian dahulu keamanannya sebelum dapat digunakan sebagai
kemasan pangan olahan. Semua kemasan pangan yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia kecuali kemasan pangan bahan alami harus memenuhi ketentuan dalam
peraturan ini.
Selanjutnya, bab tiga dalam peraturan ini
membahas mengenai bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan. Bab
empat berisi peraturan mengenai bahan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan
pangan. Bab lima membahas mengenai bahan yang harus dilakukan penilaian dahulu
keamanannya sebelum dapat digunakan sebagai kemasan pangan. Bahan kontak pangan
meliputi kemasan pangan aktif, kemasan pangan keramik, karet, ada, kertas
karton, plastik, kayu, kain, lilin dan beberapa lainnya. Bahan kontak pangan
yang diizinkan untuk digunakan sebagai kemasan pangan diizinkan dengan
persyaratan batas migrasi. Batas migrasi adalah jumlah maksimum zat yang
diizinkan berpindah ke dalam pangan. Batas migrasi bahan kemasan pangan
ditetapkan berdasarkan tipe pangan dan kondisi penggunaan.
Beberapa zat kontak pangan yang dilarang
sebagai kemasan pangan plastik adalah zat pewarna, penstabil, pemlastil,
pengisi, perekat, curing agent,
antioksidan dan pensanitasi. Beberapa zat warna yang dilarang adalah alkanet,
antimon, barut kromat, eosin, floksin, kadmium kuning, kadmium merah, kadmium
merah marun, kobalt ungu muda, kriosidin, kriosin, krom kuning, magentam,
rodamin, seng kromat, tembaga kromat, dan lainnya. Zat penstabil yang dilarang
oleh BPOM adalah kadmium stearat,
golongan timbal seperti timbal borat, timbal linoleat, timbal oleat dan
lainnya. Zat pemlastis yang dilarang
adalah buntil-metil karboksibutil-ftalat, dimetil-sikloheksil ftalat dan
isomer-isomernya, meril-metilkarboksietil ftalat, sedangkan zat pengisi yang
dilarang adalah asbes. Kemasan pangan dari bahan plastik daur ulang hanya dapat
digunakan sebagai kemasan pangan setelah memenuhi proses daur ulang dan
dikelola dengan sistem jaminan kualitas yang menjamin patik dari proses daur
ulang memenuhi ketentuan dalam peraturan ini.
Pelanggaran mengenai kemasan pangan yang
tercantum dalam peraturan ini akan dikenakan sanksi administratif yang
dijelaskan dalam bab enam. Beberapa sanksi yang akan diberikan berupa
peringatan tertulis, larangan mengedarkan untuk sementara waktu, perintah penarikan
pangan dari peredaran dan atau perintah pemusnahan pangan, pembekuan atau
pembatalan surat persetujuan pendaftaran pangan. Sedangkan, bab tujuh berisi
ketentuan penutup yang menjelaskan mengenai berlakunya peraturan tersebut.
Peraturan tersebut diterapkan untuk
menjamin keamanan konsumen. Akan tetapi, masih terdapat penyimpangan dalam
penggunaan kemasan pangan. Berdasarkan berita yang dilansir dari CNN Indonesia
(Lampiran B), plastik kresek hitam sempat banyak digunakan sebagai pembungkus
makanan. Plastik kresek hitam ataupun warna lainnya merupakan hasil daur ulang
plastik dan diberi pewarna yang penggunaannya bukan untuk pembungkus makanan.
Penggunaan plastik kresek hitam maupun kresek berwarna lainnya sebagai
pembungkus makanan ini tidak sesuai dengan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.07.11.6664 tahun 2011 tentang
pengawasan kemasan pangan pasal 10 ayat 1, yaitu ‘kemasan pangan dari bahan
plastik daur ulang hanya dapat digunakan setelah memenuhi proses daur ulang dan
dikelola dengan sistem jaminan kualitas yang menjamin plastik dari proses daur
ulang memenuhi ketentuan dan peraturan ini’. Ketidaksesuaian terhadap ayat 1
disebabkan oleh proses daur ulang sampah plastik menjadi plastik kresek
berwarna dapat menggunakan plastik yang riwayat penggunaan sebelumnya
terkontaminasi logam berat ataupun terkena kotoran, serta menggunakan beberapa
bahan kimia yang berbahaya. Pada lampiran zat kontak pangan yang dilarang dalam
peraturan kepala BPOM tersebut, terdapat daftar zat kontak yang dilarang
digunakan pada kemasan pangan, termasuk untuk plastik daur ulang yang akan
dijadikan kemasan atau pembungkus makanan. Plastik kresek mengandung zat kontak
seperti senyawa kromium (Cr) sebagai pewarna serta zat penstabil seperti timbal
(Pb) dan kadmium (Cd) (Hadi, 2002) .
Berdasarkan peraturan kepada BPOM, penggunaan pewarna krom, seperti krom kuning
dan krom vermilion , serta pewarna
kadmium kuning, merah, dan merah marun termasuk dalam golongan zat pewarna yang
dilarang. Selain itu, penstabil kadmium stearat, timbal borat, timbal linoleat,
timbal naftanat, timbal oleat, timbal perborat, timbal resinat, dan timbal stearat
termasuk dalam golongan zat penstabil yang dilarang.
Peringatan untuk tidak penggunaan
plastik kresek sebagai kemasan pangan atau pembungkus makanan telah diumumkan
oleh BPOM pada Peringatan Publik tentang Kantong Plastik ‘Kresek’ nomor
KH.00.02.1.55.2890 tahun 2009. Dalam peringatan publik ini disebutkan bahwa
kantong plastik kresek berwarna, terutama hitam kebanyakan merupakan produk
daur ulang yang sering digunakan untuk mewadahi makanan. Selain itu, dalam
proses daur ulang menjadi plastik kresek berwarna, riwayat penggunaan
sebelumnya tidak diketahui, apakah bekas wadah pestisida, limbah rumah sakit,
kotoran hewan atau manusia, limbah logam berat, dan lain-lain. Pihak BPOM juga
mengingatkan masyarakat untuk tidak menggunakan kantong plastik kresek daur
ulang untuk mewadahi langsung makanan siap santap.
Kandungan zat kimia pada plastik
kresek, seperti timbal, kadmium, dan kromium dapat membahayakan kesehatan
manusia. Timbal (Pb) bersifat beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya.
Keracunan kronis akibat timbal dapat mempengaruhi sistem saraf dan ginjal yang
menyebabkan anemia, mempengaruhi fertilitas, menghambat pertumbuhan janin serta
memberikan efek kumulatif yang dapat muncul di kemudian hari (Badan Pengawas Obat dan Makanan, n.d.) . Kadmium (Cd) juga
berbahaya jika terakumulasi dalam tubuh manusia. Kadmium berpengaruh secara
jangka panjang pada tubuh manusia dan dapat terakumulasi khususnya pada hati
dan ginjal. Konsentrasi rendah kadmium dapat mengakibatkan gangguan paru-paru,
emfisema, dan renal tubular disease
kronis. Keracunan kronis kadmium dapat menyebabkan nefrotoksisitas, yaitu
gejala proteinuria, glikosuria, dan aminoasiduria, serta gangguan
kardiovaskuler dan hipertensi (Rachman, 2015) . Keracunan kronis yang diakibatkan oleh
kromium (Cr) dapat menyebabkan gangguan pencernaan, berupa sakit lambung,
muntah dan pendarahan, luka pada lambung, kerusakan ginjal dan hati, bahkan
dapat menyebabkan kematian (Rini, et al., 2014) .
Pemerintah sebenarnya telah berupaya untuk memberikan
edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya penggunaan plastik kresek berwarna
kepada masyarakat melalui peringatan
publik yang diumumkan oleh BPOM. Peringatan tersebut menyadarkan masyarakat
untuk tidak menggunakan plastik berwarna terutama hitam sebagai kemasan pangan.
Sebaiknya, pemerintah memberikan penyuluhan kepada masyarakat secara lebih
intensif melalui iklan layanan masyarakat atau penyuluhan secara langsung ke
pedagang-pedagang agar plastik kresek berwarna tidak digunakan lagi sebagai
kemasan pangan, serta memberikan penyuluhan untuk mendorong masyarakat
menggunakan plastik food grade
sebagai kemasan pangan.
BAB IV. KESIMPULAN
Regulasi label pangan di
Indonesia diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia nomor 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan. Salah
satu pelanggaran terhadap peraturan label pangan adalah tidak mencantumkan
seluruh bahan tambahan pangan yang digunakan pada produk. Pelanggaran tersebut dilakukan
oleh salah satu minuman isotonik, yaitu Mizone. Produk Mizone hanya
mencantumkan salah satu bahan pengawet dari dua bahan pengawet yang digunakan
pada label kemasan. Hal tersebut melanggar PP RI No. 69 tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan pasal 22 ayat (1). Sanksi yang diberikan oleh BPOM
kepada PT Tirta Investama adalah penarikan produk di pasaran dan penggantian
dengan label baru yang telah disetujui BPOM.
Regulasi dan pengawasan
kemasan pangan di Indonesia diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor
HK.03.1.23.07.11.6664 tahun 2011 tentang pengawasan kemasan pangan, yang
merupakan penyempurnaan dari peraturan
sebelumnya, yaitu Peraturan Kepala BPOM nomor HK.00.05.55.6497 tahun 2007
mengenai bahan kemasan pangan. Salah satu contoh kasus mengenai
peraturan kemasan pangan adalah plastik kresek berwarna yang merupakan hasil
daur ulang pernah digunakan sebagai kemasan atau pembungkus pangan. Hal ini
tidak sesuai dengan peraturan peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia nomor HK.03.1.23.07.11.6664 tahun 2011 tentang pengawasan
kemasan pangan pasal 10 ayat 1, karena proses daur ulang plastik tersebut dapat
menggunakan zat berbahaya yang mengandung timbal, kromium, dan kadmium yang
termasuk daftar zat dilarang dalam peraturan tersebut serta dapat didaur ulang
dari sampah plastik yang terkontaminasi logam berat. Zat-zat tersebut dapat
membahayakan kesehatan konsumen bila mengontaminasi makanan yang dibungkus.
REFERENSI
Amri,
A. B., 2013. BPOM: 171.887 Kemasan Pangan Melanggar Ketentuan, Jakarta:
Kontan.co.id.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, t.thn. Keracunan
Timbal. [Online]
Available at: www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/Timbal.pdf
[Diakses 29 April 2016].
Available at: www2.pom.go.id/public/siker/desc/produk/Timbal.pdf
[Diakses 29 April 2016].
Bambang, 2006. Antaranews. [Online]
Available at: http://www.antaranews.com/berita/48102/mizone-ditarik-karena-masalah-label
[Diakses 2016 April 22].
Available at: http://www.antaranews.com/berita/48102/mizone-ditarik-karena-masalah-label
[Diakses 2016 April 22].
Hadi, S. N., 2002. Ancaman Polimer Sintetik Bagi Kesehatan
Manusia, Bogor: Departemen Biokimia Institut Pertanian Bogor.
Intelijen, 2013. Akademi Angkatan Udara. [Online]
Available at: http://lms.aau.ac.id/library/ebook/MJ_65_09_H/files/res/downloads/download_0021.pdf [Diakses 27 April 2016].
Available at: http://lms.aau.ac.id/library/ebook/MJ_65_09_H/files/res/downloads/download_0021.pdf [Diakses 27 April 2016].
Media Konsumen, 2006. Media Konsumen (Media Komunikasi
& Informasi Konsumen Indonesia). [Online]
Available at: http://arsip.mediakonsumen.com/Artikel288.html#popup
[Diakses 27 April 2016].
Available at: http://arsip.mediakonsumen.com/Artikel288.html#popup
[Diakses 27 April 2016].
Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Rachman, T., 2015. Pencemaran Logam Berat : Arsen dan
Kadmium. [Online]
Available at: https://www.academia.edu/16990174/PENCEMARAN_LOGAM_BERAT_ARSEN_DAN_KADMIUM
[Diakses 29 April 2016].
Available at: https://www.academia.edu/16990174/PENCEMARAN_LOGAM_BERAT_ARSEN_DAN_KADMIUM
[Diakses 29 April 2016].
Rini, A., Daud, A. & Ibrahim, E., 2014. Analisis
Risiko Kromium (Cr) dalam Ikan Kembung dan Kerang Darah pada Masyarakat Wilayah
Pesisir Kota MAKASSAR, Makassar: Universitas Hasanuddin.
Shofie, Y., 2000. Perlindungan Konsumen dan
Instrumen-Instrumen Hukumnya. Bandung: Citra Aditya bakti.
Suara Merdeka, 2006. Suara Merdeka. [Online]
Available at: http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/08/ked01.htm
[Diakses 2016 April 30].
Available at: http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/08/ked01.htm
[Diakses 2016 April 30].
Toar, A. M., 1998. Tanggung Jawab Produk Sejarah dan
Perkembangan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Lampiran
A. Mizone
Ditarik Karena Masalah Label
Jakarta
(ANTARA News) - Produsen
Mizone, PT Tirta Investama, menyatakan penarikan produk minuman isotonik
dilakukan karena hanya permasalahan label saja yang tidak mencantumkan salah
satu bahan pengawet dari dua yang dikandung oleh Mizone. "Penarikan Mizone
bukan terkait masalah kandungan bahan pengawet yang berbahaya seperti yang
sudah diberitakan beberapa terakhir ini, namun hanya masalah pencantuman
kandungan zat di label saja," kata Direktur Pemasaran PT Tirta Investama,
Didi Nugrahadi, kepada wartawan di Jakarta, Rabu. Didi mengungkapkan ada dua
jenis bahan pengawet yang terkandung di dalam Mizone yakni kalium sorbat dan
natrium benzoat. Namun, kata Didi, di label yang lama hanya satu bahan pengawet
yang tertera yakni kalium sorbat saja. Didi mengungkapkan pihak BPOM memberikan
waktu selama dua minggu terhitung sejak 28 November agar Mizone dapat ditarik
dan diganti dengan label yang baru. "Berdasarkan persetujuan yang telah
diberikan oleh BPOM terhadap label baru Mizone, kami tengah memproduksi label
kemasan yang baru untuk memastikan konsumen mendapat informasi yang
selengkap-lengkapnya. Produk Mizone dengan label baru tersebut akan tersedia di
pasaran dalam waktu dekat," kata Didi. Didi mengatakan, pihaknya akan
berusaha keras memenuhi tenggat waktu yang diberikan oleh BPOM. Namun, kata
Didi, penarikan itu tidak akan mudah karena terdapat sekitar satu juta retail,
30 depot dan 50 distributor Mizone di seluruh Indonesia. "Penarikan
seluruh produk Mizone di Indonesia akan memakan waktu lama. Jadi tidak tertutup
kemungkinan kalau setelah 12 Desember, masih ada Mizone yang menggunakan label
lama. Tetapi konsumen tetap bisa mengonsumsinya karena Mizone tetap aman,"
kata Didi tanpa mau menjelaskan berapa produk Mizone yang sudah ditarik hingga
Rabu (6/12). Lebih lanjut Didi mengatakan, pihak PT Tirta Investama menyatakan
informasi tentang bahaya bahan pengawet yang terkandung di dalam Mizone tidak
benar sama sekali. Didi mengungkapkan informasi itu sudah menyesatkan, dan
bertolak belakang dengan persetujuan dari BPOM dan badan-badan otoritas
internasional dalam keamanan pangan lainnya yang mengategorikan kalsium sorbat
dan natrium benzoat aman digunakan dalam produk makanan dan minuman.
"Persetujuan itu telah melalui pengujian ekstensif yang membuktikan bahwa
kedua bahan pengawet tersebut aman untuk kesehatan yang diatur dalam Permenkes
Nomor 722/Menkes/IX/88," kata Didi. Didi mengatakan, dalam Permenkes Nomor
722/Menkes/IX/88 itu, diatur tentang kadar aman bagi tubuh untuk mengasup
kalium sorbat yakni 1.000 mg per liter dan natrium benzoat 600 mg per liter.
"Kandungan kalium sorbat dan natrium benzoat di Mizone masing-masing hanya
100 mg per liter. Jadi masih jauh dari batas aman yang ditentukan oleh
BPOM," kata Didi.
B.
Bahaya
Plastik Hitam dan Kertas Bekas untuk Bungkus Makanan
Jakarta,
CNN Indonesia – Tidak hanya kebersihan, kualitas, dan komposisi yang harus Anda
perhatikan ketika membeli makanan. Wadah yang digunakan sebagai tempat membawa
makanan juga patut menjadi perhatian.
Direktur Pengawasan
Produk dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mustofa
mengatakan terkadang makanannya sudah aman, tapi wadah yang digunakan untuk
makan atau membawa makanan itu sendiri ternyata juga mengandung bahan yang
berbahaya.
Mustofa mencontohkan penggunaan kantong
plastik berwarna hitam merupakan salah satu contoh wadah yang mengandung bahan
berbahaya.
“Kresek hitam jangan digunakan untuk
mewadahi makanan. Kita tidak tahu plastik itu dari mana karena merupakan daur
ulang,” kata Mustofa saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis (17/9).
Ia mengatakan, sumber pembuatan plastik
hitam yang berasal dari plastik daur ulang tidak jelas. Katanya, bisa saja
plastik tersebut dari sisa plastik pembuangan dari rumah sakit yang mengandung
banyak virus dan bakteri.
Namun, ia mengatakan saat
ini penggunaan plastik hitam sudah berkurang. Pedagang maupun masyarakat sudah
banyak beralih menggunakan plastik bening.
Tidak hanya penggunaan plastik hitam yang
dilarang. Penggunaan kertas bekas sebagai wadah makanan juga ternyata tidak
baik untuk kesehatan. Biasanya, kertas bekas sering menjadi wadah gorengan.
Kepada Bidang SD dan PLB
Dinas Pendidikan DKI Jakarta Kanti Herawati mengatakan penggunaan kertas bekas
untuk gorengan berbahaya. Tinta yang masih terdapat dalam kertas akan mengeliarkan
senyawa berbahaya jika terkena panas.
“Kalau
beli gorengan baiknya bawa piring sendiri, jadi tidak dikemas dalam kertas,”
kata Kanti.
Comments
Post a Comment